
banyak kalangan biasa istilahkan
kota timika dengan berbagai argument terkait“terancamnya kenyamanan hidup bagi warga”
yang hampir tiap hari bahkan tiap minggu tidak pernah sunyi dari konflik dan
kekacauan,Timika “tiap
minggu kacau” kalimat tersebut, belakangan ini menjadi buah bibir orang-orang ditanah amungsa
dan bumi kamoro ini,
ada yang artikan mimika“mingu-minggu kacau”
ada yang justru klaim timika harus ganti jadi timida
“tiap minggu damai”
tampaknya semua orang terjerumus dalam kedua istilah diatas, tanpa melihat
siapa yang jadi aktor dibalik“kekacauan antar kelompok” yang selalu timbul dan tenggelam di
timika.

timbul dan tenggelamnya kekacauan, menurut
analisa penulis, bukan konflik
antar suku, tapi kekacauan antar kelompok, karena yang terlibat dalam kekacauan
adalah kelompok yang dimanfaatkan oleh actor tertentu untuk meloloskan kepentingannya,
“aktor tersebut merancang strategy konflik ditengah masyarakat dengan tujuan merebut kepentingannya, konflik
antar masyarakat local (7 suku) dan konflik antara pendatang dengan pendatang,juga konflik antara orang papua dan orang indonesia” hal
tersebut dilakukan oleh aktor tententu dengan kepentingan yang berbeda, misalnya
kepentingan kekuasaan (jabatan politik),kepentingan
bisnis (project) dan kepentingan
penguasaan wilayah (penjajahan),menanggapi situasi ini, belum lama
ini,penulis wawancara seorang tokoh pemuda asal timika,
Minus M, menjelaskan terkait situasi timika yang tidak pernah aman dan selalu ada kekacauan, karena ada aktor tertentu bermain dibalik layar, dia rancang peta konflik, dalam peta konflik ada yang jadi pemain, ada yang jadi wasit dan juga yang jadi eksekutornya, mereka ini satu sindikat yang mainkan sebuah isu dirubah jadi sebuah konflik ditengah masyarakat,
Minus M, menjelaskan terkait situasi timika yang tidak pernah aman dan selalu ada kekacauan, karena ada aktor tertentu bermain dibalik layar, dia rancang peta konflik, dalam peta konflik ada yang jadi pemain, ada yang jadi wasit dan juga yang jadi eksekutornya, mereka ini satu sindikat yang mainkan sebuah isu dirubah jadi sebuah konflik ditengah masyarakat,

“setelah ciptakan konflik, fasilitasi konflik dan amankan konflik yang penting mendukung jadi menjadi bupati, terbukti selama konflik dia suplay makanan
dan bayar uang kepala kepada orang yang korban dalam perang antar kelompok
tersebut”
waktu itu, kata minus hamburkan uang “jutaan bahkan
milyaran rupiah” kepada sejumlah
orang yang mendukung kepentingan aktor tersebut, sebagian dana kepada “pemain konflik (profokasi warga yang
bertikai ),sebagiannya kepada Wasit dalam konflik (media cetak dan online dan aparat keamanan) yang bangun isu dan pura-pura awasi
masyarakat yang bertikai tapi justru kurung
kedua kelompok disatu tempat, supaya kedua kelompok dalam jarak yang dekat baku makan/baku panah/baku tikam dll),
sebagianya dana diberikan kepada eksekutor konflik
( pihak MDS yang drop orang yang korban ke tempat yang dikhususkan sebelumnya”
misalnya kelompok dani tampungkan di RSUD. Sp1 Timika, sementara kelompok Damal drop di RS Caritas, Sp5 timika, jelas Minus menggambarkan permainan peta konflik di kota timika,
misalnya kelompok dani tampungkan di RSUD. Sp1 Timika, sementara kelompok Damal drop di RS Caritas, Sp5 timika, jelas Minus menggambarkan permainan peta konflik di kota timika,
belajar dari pengalaman kata Minus,
konflik antra kelompok (Mee Vs Dani) dan Key Vs Bugis, Key Vs Toraja, ini
semua permainan oknum tertentu yang
punya pengaruh dipublik, semua dianggap gampang asal ada uang, aktor tersebut
tidak pernah berpikir manusia yang dikorbankan lebih berharga dari pada uang yang dia
digunakan merebut kepentingannya,

pertikaian antara kedua kelompok
dimanfaatkan oleh pihak aparat untuk loloskan projek kelapa sawit, saat ini
projek kelapa sawit di sp13 berjalan lancar tidak ada pihak yang dipersolkan
kehadiran proyek tersebut yang sedang dikerjakan oleh salah
satu perusahan ilegal milik bri/kopas,
semua konflik yang terjadi beda motif
tapi satu tujuan untuk merebut kepentingan,khusus Konflik Key Vs Toraja, menut
penulis, ada kaitan dengan "persoalan jabatan politik dibirokrasi”
ada oknum bernama “Bass” yang bermain di balik pertikaian , Bass punya niat lengserkan atasanya (Leng) dari jabatan politik, niat
lengserkan atasan dari jabatan politik muncul akibat merasa tidak dihargai
sebagai bawahan yang mempunyai kewenangan dalam mengatur dana APBD dan Projek termasuk kewenangan membagikan jabatan
dibirokrasi, sejauh ini Bass berupaya membangun citra buruk kepada atasan lewat
sejumlah media baik online maupun media cetak,
“berita yang menyudutkan Leng oleh
Bass selalu picah dihalaman depan sejumlah koran yang ada di timika, Bass
mulai beropini tentang atasan mulai dari disiplin kerja sampai krediblitas
atasan sebagai pemimpim publik yang jarang berada di kantor,semua tindakan Bass
sudah coba lewat media cetak untuk mempengaruhi pikiran publik, namun tidak berhasil
memancing emosi masyarakat untuk memperkuat niat Bass yang mau lengserkan
atasanya dari jawaban politik”
ketidak berhasilan Bass atas niat
lengserkan Leng membuat Bass berpikir dua kali dengan cara lain, cara lain yang
dia tempu yaitu “ciptakan
konflik ditengah masyarakat” hal tersebuat dia lakukan karena
cara ini tentu menjadi perhatian publik dan isu yang kemudian menjadi konflik
ujung2nya nama Leng yang akan disebutkan,
“bass
yang berasal dari salah satu kelompok yang bertikai, dia mulai mengungkit
pernyataan Leng sebelum dia terpilih menjadi pejabat publik, menurut catatan
penulis, Leng pernah berkata begini “kelompok yang kacaukan timika, muat di container lalu buang ke laut
” pernyataan Leng ini dijadikan cela oleh Bass untuk menyerang atasanya,
terbukti saat ini, beberapa hari setelah konflik (Key Vs Toraja) picah kota timika, kenyamanan masyarakat jadi terancam dan mulai bertanya2
kenapa konflik ini tidak ada tanda2 barakhirnya”
masyarakat juga mulai bertanya,
adakah pemimpin dinegeri ini, kenapa tidak tangani segera agar situasi tegang
ini bisa redah kembali, kenapa aparat keamanan yang turun di lokasi konflik
justru jadi “wasit” bukan sebagai “pengyom masyarakat” lihat tindakan aparat
keamanan, tampaknya “Bass sudah intruksikan aparat untuk perkeruh situasi
sampai ada tanggapan dari Leng sebagai pemimpin dinegeri ini” itu
sebabnya, tindakan aparat dilapangan seakan wasit, hal tersebut
dilihat dari sikap aparat yang hanya hanya berjaga-jaga tanpa menangkap aktor
atau profokator kkonflik kedua kelompok tersebut, soal ini dinilai sebuah scenario
pihak Bass peralat aparat memancing Leng
turunkan uang untuk amankan konflik kedua kelompok ini,
Leng sebagai (pengambil kebijakan) yang juga
adalah putra daerah timika, memanggil kedua kepalah suku dan kepala pengacau
dan dilakukan pertemuan tertutup dan sepakat untuk damai kembali,keinginan
Bass terhadap Leng yang lengserkan jabatan politiknya sudah terwujud,tindakan Bass telah
berhasil karena saat ini masyarakat tidak percaya kepemimpinan Leng karena
tidak tepati perkataan sebelum dia jadi pemimpin “kelompok yang kacaukan timika, muat di
container lalu buang ke laut”Bass
sudah memperburuk citra Leng di mata publik,ini menjadi menjadi
justifikasi lengserkan Leng dari jabatan politiknya,

dalam wilayah didiami ribuan suku dan bangsa sangat gampang
bangun sebuah isu kemudian menjadi konflik, apalagi ditimika ada 5 koran harian mengiurkan sebuah isu berbauh rasis (suku dan agama) sangat rentang dalam wilayah didiami
oleh berbagai suku, apalagi di timika “selain 7 suku, ada 300an suku papua, belum termasuk bangsa indonesia (sabang sampai amboina) yang sedang
kuasi tanah mimika dan jajah papua dengan cara cipatakan konflik untuk meloloskan projek, juga kekacauan diciptakan
ditengah masyarakat local dan papua untuk mematahkan kesatuan dan persatuan
agar tidak ada perlawanan dan untuk memuluskan penjajahan dengan motif yang
berbeda yang mainkan oleh actor yang berbeda atas kepentingan tertentu,
(Penulis : Methu Badii).